Biografi Kiai Bisri ‘Syansuri’ dari Pati/Jombang

Biografi Kiai Bisri ‘Syansuri’ dari Pati Jombang
KH Bisri Syansuri (kiri) bersama KH Wahab Chasbullah dalam sebuah pertemuan. (Foto: Dok. Perpustakaan PBNU)

Nama ‘Syansuri’ cukup terkenal di Jawa, terutama di kalangan santri nahdliyyin. Salah seorang tokoh yang memiliki nama ini adalah kakek Gus Dur dari pihak ibu, yaitu Kiai Bisri Syansuri (w. 1980), seorang ulama besar yang pernah menjabat sebagai Rais Aam Nahdlatul Ulama sepeninggal Kiai Abdul Wahab Chasbullah (w. 1972).

Kiai lain yang menggunakan nama ini adalah Kiai Syansuri Badawi, salah satu murid “kinasih” Mbah Hasyim Asy’ari yang kemudian meneruskan tradisi “ngaji” Bukhari-Muslim di Pondok Tebuireng selama bertahun-tahun. Sekedar informasi, salah satu pengajian andalan Mbah Hasyim ketika masih “sugeng” dulu adalah ngaji kitab Bukhari-Muslim, dua kitab koleksi hadis yang paling otoritatif dalam Islam. Salah satu murid Kiai Syansuri Badawi yang mungkin banyak dikenal publik adalah Kiai Ali Mustafa Yaqub, kiai asal Batang (Jawa Tengah) yang pernah menjabat sebagai imam besar Masjid Istiqlal.

Dalam tulisan pendek ini, saya mau mengulas mengenai nama ‘Syansuri’ ini. Saya juga akan membahas sedikit mengenai sosok Kiai Bisri Syansuri. 

Kiai Bisri Syansuri berasa dari Tayu, Pati, Jawa Tengah. Beliau pernah belajar kepada sejumlah kiai, antara lain Kiai Abdussalam Kajen (ayahanda Kiai Abdullah Salam alias Mbah Dullah, paman dari Kiai Sahal Mahfudz). Beliau juga pernah belajar kepada Hadratusysyaikh Hasyim Asy’ari (kakek Gus Dur dari pihak bapak). Guru-guru Kiai Bisri yang lain meliputi: Kiai Syua’ib Sarang (Rembang), Kiai Khalil Kasingan (Rembang), dan Syaikhana Khalil Bangkalan (Madura).

Bersama Kiai Abdul Wahab Chabullah (salah satu pendiri NU), Kiai Bisri pernah belajar di Makkah, dan berguru, antara lain, kepada Syekh Mahfudz Termas yang masyhur itu. Setelah pulang ke tanah air (kira-kira pada 1913, setahun setelah Muhammadiyah berdiri), Kiai Bisri mendirikan Pondok Pesantren Denanyar, Jombang. Beliau wafat pada 1980, dan kedudukannya sebagai Rois Aam PBNU digantikan oleh Kiai Ali Ma’sum Krapyak, Yogyakarta.

Yang menarik perhatian saya sejak dulu adalah nama “Syansuri” itu. Ini jelas bukan nama Jawa. Saya sudah menduga, ini adalah nama sebuah kota atau tempat di negeri Arab. Ada sebuah praktik yang lazim di kalangan santri Jawa, yaitu memakai nama-nama yang berasal dari nama sebuah negara atau tempat di kawasan Arab atau Persia. 

Contoh yang paling populer adalah “Syirazi”. Nama ini banyak sekali dipakai oleh keluarga Muslim di Indonesia, terutama Jawa. Nama “Syirazi” sebenarnya berasal dari kata “Syiraz”, yaitu nama sebuah kota di Iran bagian selatan.

Dalam catatan pendek ini, saya mau menelaah kata “Syansuri” dalam nama Kiai Bisri Syansyuri itu. “Syansuri” (ada yang membacanya: Syinsyauri) adalah nama ayahanda Kiai Bisri. Sama dengan kasus “Syirazi”, nama ini berasal dari kata “Syansur”, sebuah daerah di kawasan provinsi Manufia di Mesir (dari daerah ini juga lahir nama seorang ulama yang amat populer di kalangan pesantren, yaitu Imam Ibrahim al-Bajuri [w. 1276 H/1859 M], pengarang Hasyiyah al-Bajuri yang terkenal dan kerap dijadikan rujukan dalam bahtsul masa’il di NU).

Yang menjadi pertanyaan adalah: Bagaimana orang-orang Muslim di Jawa dulu mengenal kata “Syansur”, lalu menamai anak-anak mereka dengan nama “Syansuri” ini? Sebagian orang ada yang menggunakan nama “Samsuri”, atau “Syamsuri”. Keduanya adalah versi lain dari nama “Syansuri”. Sangatlah mustahil mereka mengenal nama ini melalui televisi, koran, atau radio, sebab jenis-jenis teknologi itu belum dikenal luas oleh keluarga nahdliyin di pedusunan Jawa saat mereka mulai mengadopsi nama itu kira-kira pada awal abad ke-19.

Lalu dari mana mereka mengenal nama “Syansur/i”? Jawabannya adalah melalui para ulama dari kawasan Arab yang menyandang nama tersebut. Ada banyak ulama yang menggunakan nama ini, salah satunya (yang saya duga paling mungkin menjadi asal-usul populernya nama “Syansuri” di Jawa) adalah Imam Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-Jam’i al-Syansuri, seorang ulama yang dikenal sebagai pakar di bidang ilmu faraid (ilmu pembagian waris dalam Islam). Selain itu, ia juga menjabat sebagai khatib resmi di masjid Universitas al-Azhar pada zamannya, dan karena itulah ia dikenal pula dengan “jejuluk” atau laqab “al-Jam’i”. Ia wafat pada 999 H/1591 M.

Ulama ini dikenal di Jawa melalui syarah atau komentarnya atas sebuah risalah pendek yang amat populer di seluruh dunia Islam; nama risalah ini adalah “al-Mandzumah al-Rahabiyyah”. Ini adalah risalah pengantar kepada pembahasan ilmu faraid karya Ibn al-Mutafanninah (ada yang menyebutnya: Ibn al-Mutqinah), seorang ulama asal Syria yang hidup pada abad ke-12 (setelah generasi Imam Ghazali). 

Para santri di seluruh dunia Islam yang hendak belajar ilmu faraid, hampir bisa dipastikan akan memulainya dengan “ngaji” risalah pendek ini. Kita bisa menyebut risalah ini sebagai “Jurumiyah”-nya ilmu faraid. Saya dulu “ngaji” kitab ini kepada almarhum Kiai Ahmad Rifai Nasuha dari Kajen, Pati. Kiai Rifai dikenal di daerah saya sebagai pakar ilmu faraid yang amat handal. Beliau hafal di luar kepala “al-Mandzumah al-Rahabiyyah” (terdiri dari 170-an bait) ini, dan selalu mengajar tanpa menggunakan kitab. 

Salah satu bait dalam risalah ini, dan masih saya ingat adalah sebagai berikut:

وأنَّ هٰذا العلمَ مخْصُوصٌ بما # قد شاع فيه عنْدَ كلِّ العُلما

 بأنه أولُ علمٍ يُفْقَدُ # فى الأرض حتَّى لا يكادُ يوجَدُ


Bait ini menegaskan bahwa faraid adalah ilmu yang pertama hilang dari peredaran, dan jarang dipelajari oleh umat Islam. Penegasan ini didasarkan pada sebuah hadis riwayat Ibn Majah (w. 273 H/886 M) yang memuat semacam prediksi Kanjeng Nabi: bahwa faraid adalah ilmu yang pertama kali “diangkat” dari muka bumi (أوَّلُ عِلْمٍ يُرْفَع).

Nadzam al-Rahabiyyah yang diterjemahkan dalam bahasa Perancis oleh J.-D. Luciani dan terbit di Al-Jazair pada 1896, berjudul “Petit Traité des Successions Musulamnes” (Risalah pendek tentang kewarisan Muslim).

Kiai Bisri Syansuri bisa dipastikan pernah mempelajari risalah ini beserta syarahnya. Sangat mungkin bahwa beliau mempelajari kitab itu dari Syekh Mahfudz Termas di Mekah, selain dari guru-gurunya yang lain sewaktu masih “nyantri” di Jawa. 

Sementara itu, “Syansuri” adalah nama ayah Kiai Bisri yang hidup kira-kira di paruh pertama ada ke-19. Data ini, bagi saya, bisa menjadi dasar untuk menduga bahwa pada waktu itu (yakni paruh pertama abad ke19), atau malah sebelumnya, syarah atas “al-Mandzumah al-Rahabiyyah” karya Imam Abdullah bin Muhammad al-Syansuri sudah dikenal dan dipelajari oleh ulama di Jawa. Melalui syarah inilah para santri Jawa pelan-pelan mulai mengenal nama “Syansuri” dan mengadopsinya sebagai nama bagi putera-putera mereka.

Yang menarik, nama “Syansuri” tak lagi populer sekarang, dan tampaknya mulai jarang dipakai oleh keluarga nahdliyin (sepengetahuan saya; mungkin saja saya keliru). Apakah ini menandakan bahwa syarah Imam al-Syansuri atas nadzam al-Rahabiyyah tersebut sudah jarang dipelajari? Atau lebih jauh lagi, apakah ini juga menandakan bahwa popularitas ilmu faraid sudah mulai merosot, sekaligus meng-konfirmasi prediksi Kanjeng Nabi dalam hadis riwayat Ibn Majah itu? Atau mungkin nama ini sudah tak dianggap keren lagi? Wallahu a’lam

Ulil Abshar Abdallah, Intelektual Muda NU

Sumber: NU Online