WISUDA

Wisudah Sarjana
Wisuda Bahagia

Pergunu DIY – Seyegan– Kami berfoto ria dengan gaya masing-masing. Dari gaya formal seperti foto pahlawan kemerdekaan atau paduan suara hingga foto gaya orang kepedesan alias mangap tak jelas. Selanjutnya giliranku beraksi.

Kali ini aku meminjam toga dan seperangkat baju wisuda milik Rini, lalu meminta Rini untuk mengambil gambarku.

“Haha…wisuda…mudah kan! Tinggal pinjam baju, lalu foto!!!Hahaha…”

Semua tertawa menyusul gelakku yang tak tertahankan. Beberapa menit kemudian aku sudah mengirimkan gambarku tadi pada mama dan papa yang selalu menanti kesuksesanku.

Wisuda, Sarjana, Gelar!

Siapa bilang untuk mendapatkan titel sarjana itu sulit? Apalagi di zaman seperti ini. Semua serba instan.

Yuda, tetanggaku seorang sarjana ekonomi yang kini malah banting setir menjadi pegawai salon, karena setelah malang melintang keluar masuk berbagai perusahaan untuk melamar pekerjaan, ternyata ia tak dapat memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan.

Toh, ia masih saja memgang teguh prinsip ekonominya dalam menjalani kehidupan ini, salah satunya menyediakan alat pemuas kebutuhan untuk para pelanggannya. Tentu saja kebutuhan rambut dan badan.

Tak jauh-jauh dari Yuda, Asti sepupuku yang telah menyelesaikan S2-nya dibidang psikologi tahun lalu, kini hanya bisa berdiam diri saja di rumah. Alasannya satu, biaya administrasi melamar pekerjaan yang ia butuhkan sangatlah mahal hingga akhirnya kini justru ia sendiri yang membutuhkan perawatan psikologi alias stres.

Masih banyak pula sarjana-sarjana lain yang bahkan nasibnya hanya menjadi seorang pengangguran. Lalu sebenarnya selama ini kita belajar untuk apa?

Untuk mendapatkan ilmu? Atau untuk mendapatkan titel?

***

Hari ini wisuda angkatan 21 di universitas kami. Teman sekamarku, Rina lulus dengan predikat cumlaude.

Tasya lulus dengan skripsi 2 jutanya alias skripsi dagangan orang yang sudah susah payah kurang lebih 3 bulan ini ia hafalkan teksnya bahkan hingga titik komanya. Eni, lulus dengan predikat biasa saja. Prinsip Eni “Yang penting selamat!”.

Aku sendiri??? Aku memang termasuk berlatar belakang keluarga mampu, uang bulanan tidak pernah terlambat. Semua kebutuhan terpenuhi. Bahkan orang tuaku susah payah menyekolahkanku demi melihatku menjadi sarjana yang mereka inginkan.

Sebenarnya aku juga wisuda tahun ini, tapi aku benar-benar tak berminat menyelesaikan kuliahku. Aku memang merasa senang bertemu dan bermain setiap hari dengan teman-teman kuliahku, tapi untuk belajar? Bagiku sekolah hanya formalitas!

***

Seminggu kemudian.

Huh ….huh ….(nafasku tersengal)

Aku hampir tak mampu lagi berlari, tapi aku harus berlari! Aku ingin menebus dosaku yang telah dengan sengaja membohongi mama dan papa.

Sekitar pukul 11 malam tadi kakak meneleponku. Mama kaget mengetahui kenyataan yang selama ini aku perbuat.

Mama masuk rumah sakit dan sekarang dalam keadaan koma. Papa dan kakak marah padaku dan tak mau menjemputku menemui mama. Kakak hanya menyuruhku segera datang ke rumah sakit tempat mama dirawat.

Motorku sedang diservis, tak ada angkutan umum. Teman-teman sekamarku sudah pulang ke rumah mereka masing-masing.

Huh….huh….

Aku masih saja berlari di tengah kesunyian malam ini. Peluh yang mulai membanjiri tubuhku mampu mengalahkan dinginnya malam.

Hpku mulai berdering, kakak kembali mengabarkan kondisi mama, tapi ia tetap tak berbaik hati untuk menjemputku.

Seratus meter lagi!!!

Aku harus bertahan!

Aku mulai berjalan tertatih. Menjinjing sepasang sepatuku yang sengaja kulepas beberapa saat lalu karena kakiku sangat pegal dan lecet, perih!.

Glabuuuukk……!!!! aduh….!!!!!

Aku terjatuh dengan posisi telungkup. Kakiku tersandung bebatuan. Dan menit berikutnya aku semakin tertatih menahan perih kakiku yang terluka. Huffftzzz….akhirnya sampai juga.

Kini aku berada di koridor rumah sakit, tapi aku harus segera ke ruang operasi. Lukaku harus segera dijahit.

 Tiba-tiba muncul di hadapanku anak kecil berkaos bola dengan tas sekolahnya berjalan menghampiriku.

“Kakak kenapa? Kakak dengkulnya berdarah? Pasti sakit!” ucapnya polos.

Umurnya sekitar 5 tahun. Ia tampak iba melihat kondisiku. Ia segera membuka tasnya dan mulai memasukkan tangannya ke dalam tas itu seperti tengah mencari sesuatu. Beberapa saat kemudian ia telah mengeluarkan tempat pensilnya.

Dengan sigap ia segera membuka tempat pensil itu dan mengambil plester dari dalamnya. Aku hanya tersenyum simpul sambil menahan perih.

“Ini kak, plesternya.”

Ia membuka plester itu saat kemudian aku berbicara.

“Oh tidak usah Adik kecil, aku akan segera ke ruang operasi untuk menjahit lukaku.”

Anak kecil ini tampak heran.

“Hmm ….sebenarnya Kakak ini mau mengobati luka supaya sembuh atau supaya terlihat bahwa Kakak pernah terluka?”

Lalu tanpa kusadari ia telah menuntunku menuju sebuah keran air untuk membasuh lukaku. Kata-kata terakhirnya masih terngiang dan bahkan meracuni pikiranku. Seperti ada suatu analog yang selama ini kupertanyakan.

Sebenarnya aku bersekolah untuk mendapatkan ilmu atau untuk mendapatkan titel?

***

Duarr!!!

Petir menggelegar memecahkan lamunanku.

 “Hei foto-fotonya sudah dulu ya! Langit mendung sekali, lebih baik kita langsung ke rumah Lili untuk syukuran.” Ucap Tasya antusias.

Alhamdulillah tahun ini aku benar-benar menjadi seorang wisudawati yang belajar untuk mendapatkan ilmu, bukan karena gelar, apalagi formalitas.

 Mama dinyatakan sembuh beberapa hari setelah aku tiba di rumah sakit itu, tentunya setelah mendengar langsung pengakuan dan permohonan maafku.

Dan aku berjanji, tak akan menyiakan hidupku lagi.

Penulis: Dewi Nirwana, (Guru SDNU Sleman)