Pergunu DIY– Dalam tradisi Islam, istilah bid’ah sering menjadi perdebatan di kalangan umat. Salah satu contoh yang kerap dibahas adalah salat tarawih berjamaah dan perbedaannya dengan pelaksanaan tarawih di masa Rasulullah ﷺ. Kaum Wahabi sering kali mempersoalkan praktik ini, dengan menyebutnya sebagai bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ. Namun, Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) ala Nahdlatul Ulama (NU) memberikan pendekatan yang lebih kontekstual dan inklusif terhadap isu ini.
Tarawih Berjamaah dan Mushaf Al-Qur’an: Sebuah Analogi
Pada masa Rasulullah ﷺ, salat tarawih tidak dilaksanakan secara rutin berjamaah. Nabi ﷺ hanya beberapa kali mengimami tarawih, kemudian meninggalkannya dengan alasan agar tidak diwajibkan kepada umat. Setelah wafatnya Nabi ﷺ, khalifah Umar bin Khattab menghidupkan kembali salat tarawih secara berjamaah dengan 20 rakaat. Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” (HR. Bukhari, No. 2010). Pernyataan Umar menunjukkan bahwa beliau memandang tarawih berjamaah sebagai bid’ah hasanah, yakni perkara baru yang baik dan bermanfaat.
Analogi serupa juga terlihat dalam pengumpulan mushaf Al-Qur’an. Pada masa Nabi ﷺ, Al-Qur’an belum dibukukan. Khalifah Abu Bakar dan Utsman bin Affan memulai inisiatif ini untuk menjaga keaslian Al-Qur’an, meski itu merupakan perkara baru yang tidak dilakukan Rasulullah ﷺ. Namun, seluruh sahabat sepakat bahwa tindakan ini penting demi maslahat umat (Lihat: Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, Juz 9, Hal. 9).
Demikian pula dengan tarawih berjamaah, meskipun bentuknya tidak identik dengan praktik di masa Nabi ﷺ, ia memiliki landasan maslahat yang kuat.
Pendekatan NU terhadap Bid’ah
NU memaknai bid’ah secara proporsional, merujuk pada definisi yang diberikan oleh para ulama salaf. Dalam kitab Al-I’tisham karya Imam Asy-Syatibi, bid’ah diartikan sebagai: “Sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa dasar syariat.” NU menambahkan bahwa perkara baru yang memiliki dasar syar’i, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’, tidak dapat disebut sebagai bid’ah yang sesat.
Imam Syafi’i dalam Al-Umm menegaskan pentingnya membedakan antara bid’ah yang membawa manfaat (hasanah) dan yang tidak (sayyi’ah). Salat tarawih berjamaah dengan 20 rakaat termasuk kategori bid’ah hasanah, sebagaimana dikuatkan oleh praktik sahabat dan ulama salafusshalih (Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 4, Hal. 31).
Klaim Wahabi tentang Bid’ah
Kaum Wahabi sering kali menggunakan hadis berikut sebagai dasar klaim mereka:
“Setiap perkara baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.”
(HR. Muslim, No. 867)
Dari sini, mereka menyimpulkan bahwa semua hal baru yang tidak dilakukan Nabi ﷺ adalah sesat. Contoh amalan yang dianggap bid’ah oleh Wahabi adalah tahlilan, maulid Nabi, ziarah kubur, hingga tarawih berjamaah dengan 20 rakaat.
Tanggapan NU: Dalil dan Penjelasan
NU menjawab tuduhan ini dengan dalil dan logika:
1. Hadis tentang Sunnah Hasanah
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barangsiapa yang memulai suatu amalan baik (sunnah hasanah) dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya.”
(HR. Muslim, No. 1017)
Hadis ini menunjukkan bahwa perkara baru yang membawa kebaikan tidak termasuk dalam bid’ah yang sesat.
2. Tarawih Berjamaah oleh Umar bin Khattab
Ketika Umar menghidupkan tarawih berjamaah, beliau berkata:
“Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini.”
(HR. Bukhari, No. 2010)
Pernyataan ini menegaskan bahwa Umar memahami bid’ah dalam makna positif, yakni inovasi yang tidak bertentangan dengan syariat.
3. Dalil Maulid Nabi
Maulid Nabi adalah bentuk syukur atas kelahiran Nabi Muhammad ﷺ sebagai rahmat bagi semesta alam. Allah berfirman:
“Dan ingatlah nikmat Allah yang ada pada kalian.”
(QS. Al-Baqarah: 231)
Memperingati maulid adalah cara untuk mengingat nikmat terbesar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad ﷺ.
4. Pengumpulan Mushaf Al-Qur’an
Jika semua hal baru dianggap sesat, maka pengumpulan mushaf Al-Qur’an oleh Abu Bakar dan Utsman pun seharusnya masuk kategori bid’ah. Namun, tindakan ini diterima oleh seluruh umat Islam karena maslahatnya jelas (Lihat: Tafsir al-Qurtubi, Juz 1, Hal. 24).
Pandangan Ulama NU
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah memberikan contoh humoris:
“Kalau Wahabi bilang tarawih berjamaah itu bid’ah, terus mereka pakai loudspeaker buat adzan apa nggak bid’ah? Zaman Nabi kan nggak ada loudspeaker!”
KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah yang dihormati juga oleh NU, menambahkan:
“Kalau semua bid’ah dilarang, jangan pakai kacamata, jangan pakai piring, karena itu semua tidak ada di zaman Nabi!”
Pandangan ini menunjukkan bahwa bid’ah harus dilihat dari maslahatnya, bukan sekadar apakah ia dilakukan pada masa Nabi ﷺ atau tidak.
Salat tarawih berjamaah, tahlilan, dan peringatan maulid adalah bagian dari khazanah Islam Nusantara yang kaya. Dalam pandangan Aswaja NU, amalan ini memiliki dasar syar’i yang kuat, baik dari Al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’. Tuduhan bid’ah yang dilontarkan oleh Wahabi sering kali didasarkan pada pemahaman literal tanpa melihat konteks maslahat dan perkembangan zaman.
NU mengajarkan bahwa Islam adalah agama yang fleksibel dan relevan dengan kehidupan umat manusia. Pendekatan ini tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga memperkuat kebersamaan dan syiar Islam di tengah masyarakat.
Wallahu a’lam bishawab.
Oleh: Ahmad Faozi, S.Psi., M.Pd.









