𝙍𝘼𝘽𝙐 𝙒𝙀𝙆𝘼𝙎𝘼𝙉, 𝘼𝙈𝘼𝙇𝙄𝙔𝘼𝙃 𝙉𝘼𝙃𝘿𝙇𝙄𝙔𝙔𝙄𝙉 𝘿𝘼𝙇𝘼𝙈 𝙋𝙀𝙍𝙎𝙋𝙀𝙆𝙏𝙄𝙁 𝙁𝙄𝙌𝙃 𝙎𝙔𝘼𝙁𝙄’𝙄

Pergunu DIY-Sudah menjadi tradisi di masyarakat Nahdliyyin bahwasanya pada hari Rabu terakhir di bulan Shofar selalu diadakan mujahadah dan dzikir bersama dalam rangka do’a bersama dan tolak balak. Rebo Wekasan (istilah masyarakat Jawa Timur), Rebo Pungkasan (Yogya), Rebo Kasan (Sunda Banten) adalah sebutan untuk hari rabu keempat di bulan Shofar. Rabu adalah hari ke tiga dalam sepekan (hitungan kalender Masehi). Sedangkan wekasan adalah ambilan dari akar kata “wekas” yang berarti “pesan” atau wanti-wanti.” Sebab orang-orang tua begitu memperhatikan hari yang dianggap na’as ini dengan mewanti-wanti pada anak-cucunya. Kata pungkasan juga mengambil dari akar kata bahasa jawa “pungkas” yang berarti “akhir.” Dimaksudkan untuk rabu keempat atau terakhir di bulan Shofar.

Mengenai amaliah Rabu wekasan ini yang menjadi rujukan primer adalah kitab Kanzun Najah Was Surur (hal 94) karya Syeh Abdul Hamid bin Muhammad Ali Kuds pengarang kitab Lathoiful Isyarot yang menjadi kitab muqorror di pondok pesantren, seorang ulama’ Makah abad abad 14 H (wafat tahun 1335 H) murid Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan Sayyid Bakri Syatho (pengarang kitab I’anatut Tholibin), sekaligus menjadi guru dari Habib Ali Kwitang dan Habib Ali Bungur Jakarta.

Dalam kitabnya tersebut beliau menyebutkan :

فَائِدَةٌ‎
ذَكَرَ بَعْضُ الْعَارِفِيْنَ مِنْ أَهْلِ الْكَشْفِ‎ وَالتَّمْكِيْنِ أَنَّهُ يَنْزِلُ‎ فِيْ كُلِّ سَنَةٍ ثَلَاثُمِائَةِ‎ أَلْفِ بَلِيَّةٍ وَعِشْرُوْنَ‎ أَلْفًا مِنَ الْبَلِيَّاتِ،‎ وَكُلُّ ذَلِكَ فِيْ يَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ الْأَخِيْرِ مِنْ صَفَرَ؛ فَيَكُوْنُ‎ ذَلِكَ الْيَوْمُ أَصْعَبَ أَيَّامِ السَّنَةِ؛‎فَمَنْ صَلَّى فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ أَرْبَعَ‎ رَكَعَاتٍ،‎ يَقْرَأُ فِيْ كُلِّ‎ رَكْعَةٍ مِنْهَا بَعْدَ الْفَاتِحَةِ سُوْرَةَ (إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ) سَبْعَ عَشْرَةَ مَرَّةً‎ وَالْإِخْلَاصِ خَمْسَ مَرَّاتٍ،‎ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ‎ مَرَّةً مَرَّةً، وَيَدْعُوْ‎بَعْدَ السَّلَامِ‎ بِهَذَا الدُّعَاءِ‎ حَفِظَهُ اللهُ تَعَالَى‎ بِكَرَمِهِ‎ مِنْ جَمِيْعِ‎الْبَلَايَا الَّتِيْ تَنْزِلُ‎ فِيْ ذَلِكَ الْيَوْمِ،‎ وَلَمْ‎ تَحُمْ حَوْلَهُ بَلِيَّةٌ مِنْ تِلْكَ الْبَلَايَا إِلَى تَمَامِ السَّنَةِ‎

FAIDAH
Sebagian orang yang ma’rifat dari ahli kasyaf dan tamkin menyebutkan setiap tahun turun 320.000 cobaan. Semuanya itu pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka pada hari itu menjadi sulit-sulitnya hari di tahun tersebut.
Barang siapa shalat pada hari itu 4 rakaat, yang mana setiap satu rakaat sesudah surat Al Fatihah dia membaca:

  • Surat Innaa A’thainaakal Kautsar 17 kali
  • Surat Al Ikhlash 5 kali
  • al Mu’awwidzatain (Surat Al Falaq dan Surat Annaas) masing-masing satu kali

Maka Allah Ta’ala dengan kemurahan-Nya menjaga orang tersebut dari semua bala’ yang turun pada hari itu, dan satu bala’ dari bala’ – bala’ tersebut tidak mengitarinya sampai akhir tahun.

𝗡𝗯 : 𝘀𝗵𝗼𝗹𝗮𝘁 𝘁𝗲𝗿𝘀𝗲𝗯𝘂𝘁 𝗱𝗶𝗻𝗶𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗵𝗼𝗹𝗮𝘁 𝗵𝗮𝗷𝗮𝘁 𝗮𝘁𝗮𝘂 𝘀𝗵𝗼𝗹𝗮𝘁 𝗺𝘂𝘁𝗵𝗹𝗮𝗾, 𝗯𝘂𝗸𝗮𝗻 𝘀𝗵𝗼𝗹𝗮𝘁 𝗥𝗮𝗯𝘂 𝘄𝗲𝗸𝗮𝘀𝗮𝗻

Doa

بِسْــمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ
وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ، اَللّـٰـهُمَّ يَا شَدِيْدَ الْقُوٰى ، وَيَا شَدِيْدَ الْمِحَالِ ، يَا عَزِيْزُ ، يَا مَنْ ذَلَّتْ لِعِزَّتِكَ جَمِيْعُ خَلْقِكَ ، اِكْفِـنِيْ مِنْ شَرِّ جَمِيْعِ خَلْقِكَ ، يَا مُحْسِنُ ، يَا مُجَمِّلُ ، يَا مُتَفَضِّلُ ، يَا مُنْعِمُ ، يَا مُتَكَرِّمُ، يَا مَنْ لآَ إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ ، اِرْحَمْنِيْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللّـٰـهُمَّ بِسِرِّ الْحَسَنِ وَأَخِيْهِ وَجَدِّهِ وَأَبِـيْهِ وَأُمِّـهِ وَبَنِيْـهِ اِكْفِـنِيْ شَرَّ هٰذَا الْيَوْمِ وَمَا يَنْزِلُ فِيْهِ . يَا كَافِيْ (فَسَـيَكْفِيْـكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ) ، وَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ وَصَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آٰلِـهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Secara umum kaifiyah inilah yang biasa diamalkan oleh masyarakat Nahdliyyin, walaupun tidak menafikan terhadap kaifiyah-kaifiyah yang lain karena memang tidak ada tatacara khusus yang diriwayatkan.

Beberapa hal yang patut diketahui sebagai landasan amaliah ini antara lain adalah :

Pertama, masalah Ilham para Auliya’. Dituturkan diatas bahwasanya “Sebagian orang yang ma’rifat dari ahli kasyaf dan tamkin menyebutkan setiap tahun turun 320.000 cobaan”. Hal ini masuk kategori Ilham para Auliya’, jadi Ilham adalah ilmu yang yang diberikan oleh Allah secara langsung terhadap seseorang. Menurut para fuqaha’ Ilham tidak bisa dijadikan pijakan hukum untuk menentukan halal haramnya sebuah perkara, karena yang bisa menjadikan sumber hukum hanyalah Allah dan Rasulnya, sedangkan menurut para sufi Ilham bisa digunakan sebagai hujjah, sebagaimana disebutkan oleh Syeh Ibnu Hajar Al Haitami di dalam Fatawi Haditsiah hal 230 :

ﻓﺎﻷﺭﺟﺢ ﻋﻨﺪ اﻟﻔﻘﻬﺎء ﺃﻧﻪ ﻟﻴﺲ ﺑﺤﺠﺔ ﺇﺫ ﻻ ﺛﻘﺔ ﺑﺨﻮاﻃﺮ ﻏﻴﺮ اﻟﻤﻌﺼﻮﻡ ﻭﻋﻨﺪ اﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ﺃﻧﻪ ﺣﺠﺔ ﻣﻤﻦ ﺣﻔﻈﻪ اﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﺳﺎﺋﺮ ﺃﻋﻤﺎﻟﻪ اﻟﻈﺎﻫﺮﺓ ﻭاﻟﺒﺎﻃﻨﺔ

“Pendapat yang kuat menurut para fuqaha’, Ilham bukanlah hujjah karena tidak ada sifat tsiqah terhadap khawathir orang yang tidak maksum, sedangkan menurut para sufi Ilham menjadi hujjah apabila bersumber dari orang yang dijaga oleh Allah dalam segala amaliyahnya baik lahir maupun batin”.

Namun pada hakikatnya tidak ada perselisihan pendapat dalam kenyataannya, bisa kita buktikan bahwa ranah pembahasan para fuqaha’ adalah amaliyah seseorang dipandang dari segi halal haramnya. Jadi jelas saja Ilham para wali tidak bisa disetarakan dengan Al Qur’an maupun hadits Rasulullah dalam segi masdaru istinbatil ahkam (sumber penggalian hukum). Sedangkan ranah para sufi adalah tazkiyatun nafs (membersihkan diri) dan tahdzibul akhlaq (memperbagus akhlaq), jadi ilhamnya para Auliya’ bisa menjadi hujjah bukan dalam masalah legalitas hukum yang ranahnya para fuqaha’, tapi spesifik terhadap al ikhbar ‘anil mughayyabat (mengabarkan terhadap sesuatu yang ghaib) dan masuk kategori karomah. Sebagaimana Imam Suyuthi menegaskan dalam kitabnya al Hawi lil Fatawi juz 1 hal 303:

اﻹﻟﻬﺎﻡ ﻻ ﻳﻨﻜﺮ، ﻟﻜﻨﻪ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺼﺢ ﻏﺎﻟﺒﺎ ﻣﻊ اﻟﺼﻮﻓﻴﺔ اﻟﺨﻠﺺ، ﺃﺭﺑﺎﺏ اﻟﻘﻠﻮﺏ اﻟﺼﺎﻓﻴﺔ اﻟﻨﻴﺮﺓ، ﻭﻗﺪ ﻳﺤﺼﻞ ﻟﻐﻴﺮﻫﻢ ﻣﻦ ﺁﺣﺎﺩ اﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ، ﻟﻜﻨﻪ ﻗﺪ ﻳﺼﺢ ﻭﻗﺪ ﻻ ﻳﺼﺢ، ﻓﺈﻥ ﻛﺎﻥ ﻫﺬا اﻟﺬﻱ ﺃﻟﻬﻢ اﻟﻄﺐ ﻣﻦ اﻟﺼﻮﻓﻴﺔ ﺃﺭﺑﺎﺏ اﻟﻘﻠﻮﺏ ﻓﺈﻧﻪ ﻻ ﻳﺨﻄﺊ ﻓﻲ اﻟﻐﺎﻟﺐ، ﺑﺤﺴﺐ ﺗﻤﻜﻦ ﺣﺎﻟﻪ ﻭﻗﻮﺗﻪ

“Ilham tidak boleh diingkari, tetapi secara umum Ilham akan benar jika muncul dari para sufi yang memurnikan amaliyahnya, para pemilik hati yang bersih dan bersinar. Dan terkadang muncul dari selain golongan mereka, yaitu sebagian orang (awam) tetapi terkadang salah dan terkadang benar. Apabila yang mendapatkan Ilham mengenai sebuah obat ini adalah para sufi yang mempunyai hati (bersih), maka mereka tidak pernah salah secara umum, tergantung haliyah dan kekuatan spiritual sufi tersebut”.

Jadi kesimpulannya adalah, kabar yang dinukil oleh Syeh Abdul Hamid Quds di kitab Kanzun Najah diatas walaupun tidak dianggap sebagai hujjah dalam ilmu fiqih tapi di kalangan para sufi hal tersebut bisa menjadi anjuran untuk melakukan hal-hal yang positif. Bahkan tidak ada pertentangan selama hal yang dilakukan itu adalah hal positif yang mendapatkan legalitas secara syara’.

Kedua, hari Rabu terakhir dalam setiap bulan. Ada sebuah hadits yang disebutkan oleh Imam Jalaluddin Suyuthi di dalam kitab Al Jami’us Shoghir :

ﺁﺧﺮ ﺃﺭﺑﻌﺎء ﻓﻲ اﻟﺸﻬﺮ ﻳﻮﻡ ﻧﺤﺲ ﻣﺴﺘﻤﺮ (ﻭﻛﻴﻊ ﻓﻲ اﻟﻐﺮﺭ اﺑﻦ ﻣﺮﺩﻭﻳﻪ ﻓﻲ اﻟﺘﻔﺴﻴﺮ ﺧﻂ) ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ

“Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya na’as yang terus-menerus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi dari Ibnu Abbas.

Walaupun hadits ini dihukumi hadits dhaif karena sanadnya lemah sebagaimana penuturan Imam Sakhawi, tetapi para ulama’ ahli hadits banyak yang menyebutkan nya dalam kitab-kitab mereka. Diantara mereka yang menyebutkan adalah Imam Waqi’ (guru Imam Syafi’i), Ibnu Marduwaih, Khathib Al Baghdadi dan Imam Thabarani, hal itu menunjukkan bahwa kedhoifan hadits ini adalah dhaif yang bisa digunakan sebagai tendesi fadhoilul a’mal, dan apabila para ulama’ ahli hadits banyak yang meriwayatkan tanpa menyebutkan derajat haditsnya, maka berarti itu bisa digunakan hujjah dalam fadhoilul a’mal selama bukan hadits maudhu’. Sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Syeh Mahfudz Termas dalam kitabnya Manhaju Dzawin Nadhor Syarh Alfiyah Suyuthi fi Ilmil Hadits hal 96 :

(وتركه) أي الراوي للحديث الضعيف غير الموضوع (بيان ضعيف) لسنده (قد رضوا) أي أهل الحديث وغيرهم فيجوز التساهل بالأسانيد الضعيفة ورواية ما سوى الموضوع من الضعيف والعمل به من غير بيان ضعفه إذا كان (فى) نحو (الوعظ أو) فى (فضائل للأعمال) والقصص وغيرهما مما لا تعلق بالعقائد والأحكام كما قال

“Meninggalkannya seorang rawi terhadap penjelasan sanad mengenai hadits dhaif selain maudhu’ itu menunjukkan ridhonya para ahli hadits dan ulama’ yang lain. Maka diperbolehkan tasahul terhadap sanad-sanad dhaif dan meriwayatkan hadits dhaif selain maudhu’, juga diperbolehkan untuk mengamalkannya tanpa menjelaskan dhoifnya apabila digunakan sebagai hujjah dalam nasehat atau fadhoilul a’mal, kisah-kisah dan hal yang lain yang tidak ada kaitannya dengan akidah maupun hukum sebagaimana yang yang telah penulis jelaskan”.

Selain itu juga disebut oleh Imam Suyuthi di kitab Jami’ shoghir mengenai hadits anjuran bekam yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Hakim, Ibnu Sunni dan Abu Nua’im dari sahabat Ibnu Umar, bahwa Rasulullah pernah bersabda :

ﻭاﺟﺘﻨﺒﻮا اﻟﺤﺠﺎﻣﺔ ﻳﻮﻡ اﻷﺭﺑﻌﺎء، ﻓﺈﻧﻪ اﻟﻴﻮﻡ اﻟﺬﻱ اﺑﺘﻠﻲ ﻓﻴﻪ ﺃﻳﻮﺏ، ﻭﻣﺎ ﻳﺒﺪﻭ ﺟﺬاﻡ ﻭﻻ ﺑﺮﺹ ﺇﻻ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ اﻷﺭﺑﻌﺎء ﺃﻭ ﻟﻴﻠﺔ اﻷﺭﺑﻌﺎء

“Jauhilah bekam di hari Rabu, karena hari itu adalah hari dimana Nabi Ayyub mendapatkan cobaan. Dan tidaklah seorang terjangkit penyakit lepra dan baros (belang) kecuali di hari Rabu atau malam Rabu”.

Dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa memang pada hari Rabu itu terdapat riwayat-riwayat hadits yang menunjukkan terhadap kena’asan atau kesialan. Tetapi kita tidak diperbolehkan untuk meyakini terhadap kesialan itu dalam arti bahwa semuanya adalah Allah yang menaqdirkan dan tidak ada yang mampu memberikan kemanfaatan maupun kemadharatan kecuali hanya Allah semata. Hanya saja untuk langkah kehati-hatian ini kita disunnahkan untuk memperbanyak bertaqarrub kepada Allah, dzat yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Syekh Abdurrauf al Munawi dalam kitab Faidhul Qadir juz 1 hal 45 menjelaskan secara detail :

ﻭﻳﺠﻮﺯ ﻛﻮﻥ ﺫﻛﺮ اﻷﺭﺑﻌﺎء ﻧﺤﺲ ﻋﻠﻰ ﻃﺮﻳﻖ اﻟﺘﺨﻮﻳﻒ ﻭاﻟﺘﺤﺬﻳﺮ ﺃﻱ اﺣﺬﺭﻭا ﺫﻟﻚ اﻟﻴﻮﻡ ﻟﻤﺎ ﻧﺰﻝ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ اﻟﻌﺬاﺏ ﻭﻛﺎﻥ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ اﻟﻬﻼﻙ ﻭﺟﺪﺩﻭا ﻟﻠﻪ ﺗﻮﺑﺔ ﺧﻮﻓﺎ ﺃﻥ ﻳﻠﺤﻘﻜﻢ ﻓﻴﻪ ﺑﺆﺱ ﻛﻤﺎ ﻭﻗﻊ ﻟﻤﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻭﻛﺎﻥ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫا ﺭﺃﻯ ﻣﺨﻴﻠﺔ ﻓﺰﻉ ﺇﻟﻰ اﻟﺼﻼﺓ ﺣﺘﻰ ﺇﺫا ﻧﺰﻝ اﻟﻤﻄﺮ ﺳﺮﻱ ﻋﻨﻪ ﻭﻳﻘﻮﻝ ﻣﺎ ﻳﺆﻣﻨﻨﻲ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﻴﻬﺎ ﻋﺬاﺏ ﻛﻤﺎ ﻭﻗﻊ ﻟﺒﻌﺾ اﻷﻣﻢ اﻟﺴﺎﺑﻘﺔ

“Diperbolehkan menyebutkan hari Rabu sebagai hari na’as dalam arti untuk memberikan peringatan, maksudnya seperti ucapan seseorang “Takutlah terhadap hari itu karena terdapat adzab yang turun dan kerusakan, perbaharuilah taubat kalian kepada Allah karena ditakutkan akan terjadi mara bahaya sebagaimana yang terjadi terhadap kaum sebelum kalian”. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam apabila beliau melihat sesuatu yang dianggap tahayul beliau bergegas untuk melakukan sholat sehingga apabila turun hujan maka beliau bergembira dan beliau berkata : “Aku tidak merasa aman dari turunya adzab sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu”.

Untuk itu ketika kita menghadapi adanya kabar atau perkara-perkara yang kita khawatirkan hendaknya kita kembali kepada Allah, sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Rajab Al Hanbali ketika menjelaskan mengenai bulan Shofar yang dianggap sial, dalam kitabnya Lathoiful Ma’arif hal 72 :

ﻭﻫﺬا ﻛﻠﻪ ﻣﻤﺎ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ اﻷﺳﺒﺎﺏ اﻟﻤﻜﺮﻭﻫﺔ ﺇﺫا ﻭﺟﺪﺕ ﻓﺈﻥ اﻟﻤﺸﺮﻭﻉ اﻹﺷﺘﻐﺎﻝ ﺑﻤﺎ يرجى ﺑﻪ ﺩﻓﻊ اﻟﻌﺬاﺏ اﻟﻤﺨﻮﻑ ﻣﻨﻬﺎ ﻣﻦ ﺃﻋﻤﺎﻝ اﻟﻄﺎﻋﺎﺕ ﻭاﻟﺪﻋﺎء ﻭﺗﺤﻘﻴﻖ اﻟﺘﻮﻛﻞ ﻋﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻭاﻟﺜﻘﺔ ﺑﻪ ﻓﺈﻥ ﻫﺬﻩ اﻷﺳﺒﺎﺏ ﻛﻠﻬﺎ ﻣﻘﺘﻀﻴﺎﺕ ﻻ ﻣﻮﺟﺒﺎﺕ ﻭﻟﻬﺎ ﻣﻮاﻧﻊ ﺗﻤﻨﻌﻬﺎ ﻓﺄﻋﻤﺎﻝ اﻟﺒﺮ ﻭاﻟﺘﻘﻮﻯ ﻭاﻟﺪﻋﺎء ﻭاﻟﺘﻮﻛﻞ ﻣﻦ ﺃﻋﻈﻢ ﻣﺎ ﻳﺴﺘﺪﻓﻊ ﺑﻪ.

“Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya apabila sebab-sebab yang dibenci muncul, maka hal yang disyariatkan adalah menyibukkan diri dengan amaliah yang bisa menjadi tolak balak, yaitu amal-amal ketaatan, do’a dan perkara-perkara yang menguatkan tawakal dan keyakinan kepada Allah. Karena sesungguhnya sebab-sebab ini adalah perkara yang menyebabkan bukan perkara yang menjadikan kepastian terjadinya bala’. Hal-hal yang menyebabkan musibah itu pasti mempunyai perkara yang mencegahnya, dan amal-amal kebaikan, taqwa, do’a dan tawakal adalah termasuk hal yang paling agung (bermanfaat) untuk menolaknya”

Ketiga, kaifiyah sholat. Tatacara sholat yang disebutkan di atas bukanlah menjadi sebuah keharusan yang harus dilakukan, dimana kalau tidak dilakukan sesuai kaifiyah tersebut maka tidak sah. Sholat diatas adalah merupakan sholat sunah biasa yang sering dilakukan oleh seorang muslim dalam keseharian nya. Maka apabila seorang muslim melakukan sholat ini, tidak lain hanyalah untuk merealisasikan hadits fi’li sebagaimana disebutkan di kitab Faidhul Qadir juz 1 hal 45 dimana setiap kali menemui sesuatu yang dianggap tahayul beliau Rasulullah bergegas untuk melakukan sholat. Dengan berapa raka’at dan dengan bacaan surat apapun, maka diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan seseorang memperbanyak sholat tanpa dibatasi jumlah raka’at maupun bacaan surat tertentu. Sholat yang seperti ini dinamakan sholat muthlaq, dimana tujuannya adalah menyibukkan diri dengan sholat.

Maka apabila seorang melaksanakan sholat di Rabu wekasan ini, hendaknya diniatkanlah untuk sholat muthlaq atau sholat hajat dengan hajat yang diminta agar dijauhkan dari mara bahaya. Keterangan ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Nubdzatul Anwar (kitab wirid santri Al Anwar Sarang). Mengenai sholat muthlaq dan kesunahan memperbanyak melakukan ibadah, Syeh Nawawi al Bantani telah memperinci hukumnya di kitab Nihayatuz Zain hal 55 :

ﺃﻣﺎ اﻟﻨﻔﻞ اﻟﺬﻱ ﻳﺤﺼﻞ اﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻣﻨﻪ ﺑﻜﻞ ﺻﻼﺓ ﻓﻜﺎﻟﻨﻔﻞ اﻟﻤﻄﻠﻖ ﻭﺫﻟﻚ ﻛﺗﺤﻴﺔ اﻟﻤﺴﺠﺪ ﻭﺭﻛﻌﺘﻲ اﻟﻮﺿﻮء ﻭاﻹﺣﺮاﻡ ﻭاﻻﺳﺘﺨﺎﺭﺓ ﻭاﻟﻄﻮاﻑ ﻭﺻﻼﺓ اﻟﺤﺎﺟﺔ ﻭﺳﻨﺔ اﻟﺰﻭاﻝ ﻭﺻﻼﺓ اﻟﻐﻔﻠﺔ ﺑﻴﻦ اﻟﻤﻐﺮﺏ ﻭاﻟﻌﺸﺎء ﻭاﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ ﺑﻴﺘﻪ ﻭﺇﺫا ﺃﺭاﺩ اﻟﺨﺮﻭﺝ ﻟﻠﺴﻔﺮ ﻭﺻﻼﺓ اﻟﻤﺴﺎﻓﺮ ﺇﺫا ﻧﺰﻝ ﻣﻨﺰﻻ ﻭﺃﺭاﺩ ﻣﻔﺎﺭﻗﺘﻪ ﻭﺻﻼﺓ اﻟﺘﻮﺑﺔ ﻭﺭﻛﻌﺘﻲ اﻟﻘﺘﻞ ﻭﻋﻨﺪ اﻟﺰﻓﺎﻑ ﻭﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﺎ ﻗﺼﺪ ﺑﻪ ﻣﺠﺮﺩ اﻟﺸﻐﻞ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ

“Adapun sholat sunah yang bisa hasil maksud (terlaksana dengan sah) dengan semua sholat adalah seperti sholat muthlaq, sholat tahiyatul masjid, sholat dua raka’at wudhu, sholat ihram, sholat istikharah, sholat thawaf, sholat hajat, sholat zawal, sholat ghoflah yang dilakukan antara Maghrib dan Isya’, sholat di dalam rumah, sholatnya musafir yang menghendaki berpergian, sholatnya musafir ketika istirahat dari perjalanan atau ketika berangkat lagi, sholat taubat, sholat dua raka’at perang, sholat pengantin baru, dan sholat-sholat selain diatas yang ditujukan hanya untuk menyibukkan diri dengan sholat”.

Adapun kaifiyah dengan bilangan 4 raka’at sebagaimana disebutkan diawal, itu bukanlah sebuah keharusan. Dimana jika ingin dua raka’at atau bahkan 10 raka’at pun boleh, karena niatnya adalah niat sholat muthlaq yang ditujukan untuk menyibukkan diri dengan sholat. Sebagian ahli kasyf menyebutkan bilangan 4 raka’at itu, ada kemungkinan karena 4 raka’at adalah sholat yang dianggap proporsional. Kalau 2 raka’at terlalu sedikit dan seandainya diatas 4 raka’at maka bagi orang awam akan merasa keberatan. Maka diambilah 4 raka’at tersebut, yang pada intinya 4 raka’at itu bukan sebuah keharusan.

Dalam kaifiyah diatas disebutkan setiap raka’at membaca surat al Kautsar 17 kali, al Falaq 5 kali, al Falaq dan an Nas masing-masing satu kali. Bacaan surat-surat tertentu dengan bilangan seperti diatas, bukanlah menjadi sebuah kewajiban melainkan hanya mengikuti anjuran para Auliya’. Karena kita mengetahui bahwa memperbanyak sholat adalah hal yang baik, memperbanyak membaca al Qur’an juga hal yang baik. Maka apabila ada seorang wali Allah yang menganjurkan untuk sholat dan membaca Al Qur’an, tentu itu pasti baik untuk diri kita dan bukanlah bid’ah.

Terdapat kisah di kitab al Bukhari di bab “Babul Jam’i Bainas Suratain fir Rok’ah” bahwasanya ada seorang sahabat Anshor yang menjadi imam di masjid Quba’, tetapi setiap kali beliau akan memulai membaca surat beliau pasti membaca surat al Ikhlas dulu. Hal itu ia ulangi dalam setiap raka’at. Para sahabat protes kepadanya dan mengkritik keputusannya tersebut, singkat cerita sahabat ini dibawa ke hadapan Rasulullah dan beliau menanyakan kepadanya :

“ﻳﺎ ﻓﻼﻥ، ﻣﺎ ﻳﻤﻨﻌﻚ ﺃﻥ ﺗﻔﻌﻞ ﻣﺎ ﻳﺄﻣﺮﻙ ﺑﻪ ﺃﺻﺤﺎﺑﻚ، ﻭﻣﺎ ﻳﺤﻤﻠﻚ ﻋﻠﻰ ﻟﺰﻭﻡ ﻫﺬﻩ اﻟﺴﻮﺭﺓ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺭﻛﻌﺔ” ﻓﻘﺎﻝ: ﺇﻧﻲ ﺃﺣﺒﻬﺎ، ﻓﻘﺎﻝ: “ﺣﺒﻚ ﺇﻳﺎﻫﺎ ﺃﺩﺧﻠﻚ اﻟﺠﻨﺔ”

“Wahai Fulan apa yang mencegahmu untuk melakukan apa yang para sahabatmu perintahkan dan apa yang mendorongmu untuk selalu membaca surat ini dalam setiap raka’at?”,
Maka dia menjawab : “Saya mencintainya..!”
Beliau bersabda : “Cintamu terhadapnya akan mengantarkanmu ke surga”.

Jadi pengulangan surat-surat diatas bukanlah menjadi masalah. Terbukti ketika ada sahabat yang mengulang-ulang surat al Ikhlas tidak ditegur oleh Rasulullah bahkan mendapatkan apresiasi dengan jaminan surga. Jika alasan sahabat tersebut mengulang-ulang surat al Ikhlas hanya karena alasan cinta dan diapresiasi oleh Rasulullah dengan jaminan surga. Maka bagaimana pendapat anda jika seorang itu tidak cuma mencintai al Ikhlas tetapi al Kautsar, al Falaq dan an Nas, bahkan seorang itu mengamalkannya karena cintanya terhadap para Auliya’ para kekasihnya Allah. Pastilah lebih dekat dengan surga.

Di masyarakat kita sholat sunah pada hari Rabu wekasan itu dilakukan dengan berjamaah, hal itu tidak bertentangan dengan fiqh, walaupun dalam konteks ini Syeh Abdul Hamid Quds menyebutkan dalam kitab kanzun najah hal 91 :

قلت ومثله صلاة صفر فمن أراد الصلاة فى وقت هذه الأوقات فلينو النفل المطلق فرادى من غير عدد معين وهو ما لا يتقيد بوقت ولا سبب ولا حصر له . انتهى‎

“Aku berpendapat, termasuk yang diharamkan adalah shalat Shafar (Rebo wekasan), maka barang siapa menghendaki shalat di waktu-waktu ini, maka hendaknya diniati shalat sunah mutlak dengan sendirian tanpa bilangan rakaat tertentu. Shalat sunah mutlak adalah shalat yang tidak dibatasi dengan waktu dan sebab tertentu dan tidak ada batas rakaatnya.”

Pernyataan beliau secara dhohir menganjurkan untuk melakukan sholat secara sendirian. Hal itu bukan berarti bahwa apabila dilakukan secara berjama’ah hukumnya menjadi dimakruhkan, karena tidak ditemukan dalam madzhab Syafi’i sholat sunah yang dimakruhkan dilakukan dengan berjama’ah. Al Habib Abdurrahman bin Muhammad al Masyhur dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin hal 137 menuturkan :

(مسألة : ب ك) : تُبَاحُ الْجَمَاعَةُ فِي نَحْوِ الْوِتْرِ وَالتَّسْبِيْحِ فَلاَ كَرَاهَةَ فِي ذَلِكَ وَلاَ ثَوَابَ، نَعَمْ إِنْ قَصَدَ تَعْلِيْمَ الْمُصَلِّيْنَ وَتَحْرِيْضَهُمْ كَانَ لَهُ ثَوَابٌ وَأَيُّ ثَوَابٍ بِالنِّيَّةِ الْحَسَنَةِ

“Diperbolehkan shalat berjamaah di dalam sholat seperti witir dan Tasbih, tidak makruh dan tidak dapat pahala, kecuali jika bertujuan mengajarkan orang yang shalat dan memberi dorongan kepada mereka untuk melakukannya, maka mendapatkan pahala karena niat yang baik”.

Juga diperjelas oleh al Habib Ahmad bin Umar as Syathiri dalam Hasyiyah Bughyatul Mustarsyidin:

قوله (فلا كراهة) إذ لا يوجد فى مذهب الشافعي نفل تكره الجماعة فيه كما هو
مقرر ومصرح به. أهـ أصل (ك)

“Karena tidak ditemukan dalam madzhab Syafi’i sholat sunah yang dimakruhkan dilakukan dengan berjama’ah sebagaimana yang hal telah ditetapkan dan ditegaskan”

Keempat, do’a. Sebagai seorang hamba yang senantiasa taat kepada Tuhannya kita tidak akan pernah bisa terlepas dari kepasrahan dan tawakal kepada Allah. Sebagai realisasi kepasrahan dan tawakal adalah dengan do’a, karena dengan do’a sifat kehambaan kita akan muncul sebagai makhluk yang tidak mempunyai daya dan upaya. Kemudian sifat ketuhanan Allah akan benar-benar dirasakan, karena seorang hamba saat berdo’a merasa dirinya tak mempunyai kekuatan apapun, sehingga memasrahkan semua perkaranya secara totalitas kepada Allah ta’ala yang mempunyai kekuasaan muthlaq. Terdapat hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik :

اﻟﺪﻋﺎء ﻣﺦ اﻟﻌﺒﺎﺩﺓ

“Do’a adalah intinya ibadah”. HR. Tirmidzi

Jadi sebagai seorang muslim dalam keadaan apapun pastinya senantiasa menengadahkan kedua tangan berdo’a dan berdo’a, terlebih ketika menemui perkara yang ditakutkan.

ﻭﻋﻦ ﺃﺑﻲ ﻫﺮﻳﺮﺓ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻣﻦ ﺳﺮﻩ ﺃﻥ ﻳﺴﺘﺠﻴﺐ اﻟﻠﻪ ﻟﻪ ﻋﻨﺪ اﻟﺸﺪاﺋﺪ ﻓﻠﻴﻜﺜﺮ ﻣﻦ اﻟﺪﻋﺎء ﻓﻲ اﻟﺮﺧﺎء

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, sesungguhnya Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Barang siapa yang senang Allah ijabahkan do’anya dalam keadaan kepayahan, maka perbanyaklah do’a dalam keadaan lapang”. HR. Tirmidzi dan Hakim