PERSEPSI YANG DIBENARKAN, BERSYUKUR KEMUDIAN

Oleh KH Drs Heri Kuswanto MSi*)

BESYUKUR
BESYUKUR

Pergunu DIY –PIYUNGAN Disuatu siang yang terik, tampaklah seorang pengelana yang berjalan menapaki jalan setapak yang membelah padang rumput yang teramat luas. Sudah ber jam-jam ia berjalan di bawah teriknya matahari tanpa ada tempat untuknya berteduh barang sekejab.

Rasa-rasanya ia sudah tidak kuat lagi berjalan lebih jauh, langkahnya sudah amat lambat, bajunya seolah sudah lengket pada tubuhnya dikarenakan keringat yang terus-menerus keluar. Pandangan matanya sudah mulai kabur.

Tak berapa lama dilihatnya di atas bukit yang akan ia lewati sebuah pohon beringin yang tumbuh dengan rimbunnya. Pikirnya “Ah, aku terlalu lama berjalan di teriknya matahari sehingga mulai berhalusinasi. Semakin ia melangkah menuju ke bukit itu, beringin itu terasa nyata. Secercah harapan kembali terbersit di benaknya setelah sekian lama hatinya diliputi keputus asaan. Dengan tersaruk-saruk ia bergegas mendekati pohon beringin itu.

Ya! Tidak salah lagi, itu memang sebuah pohon beringin. Nyata di depannya. Serasa melihat oase di padang gurun. Sang Pengelana begitu bersukacita ketika ia benar-benar sampai di bawah keteduhan beringin itu. Hatinya diliputi syukur yang teramat dalam. Terasa benar pemeliharaan dan penyertaan Sang Pencipta kepadanya.

Dihempaskan tubuh penatnya, disandarkannya punggungnya yang terasa kaku setelah berjam-jam menempuh perjalanan yang begitu melelahkan. Ahh….nikmatnya.

Di sela-sela istirahatnya dirasakannya kerongkonganya yang begitu haus, mulutnya kering, bahkan air liurnya terasa lengket. Diraihnya tempat minum yang selama ini setia menemaninya ke mana pun ia pergi. Tinggal beberapa teguk, mungkin satu atau dua teguk telah habis. Pada teguknya satu teguk air hanya untuk meringankan rasa dahaga yang menyiksanya. Kemudian ditutupnya kembali tempat minumnya sambil mencari-cari barangkali ada sumber air atau sungai yang mengalir di sekitar situ. Tapi tak dilihat apa yang dicarinya.

Sambil bersandar pada batang pohon, kepalanya menengadah, melihat pohon beringin yang begitu besar, yang begitu rimbun. Dilihatnya pula buah beringin yang kecil-kecil dan banyak. Ah, seandainya yang berada di dahan itu adalah buah semangka tentulah ia mampu memuaskan dahaganya dengan buah semangka. Lalu ia merasa Sang Pencipta tak adil, mengapa di pohon beringin yang rindang ini, di mana para musafir dapat berteduh dan melepas lelah, tidak diberi buah yang besar dan begitu berair seperti semangkan. Tentu akan sangat berguna daripada buah beringin yang kecil-kecil dan tidak ada airnya. Justru Sang Pencipta membiarkan buah semangka tumbuh di pohon yang begitu rapuh dan merambat di atas tanah yang pohonnya tidak dapat digunakan untuk berteduh sama sekali.

Sang Pengelana tidak habis pikir akan ketidak adilan ini hingga tanpa terasa ia tertidur setelah angin sepoi-sepoi berhembus menyejukkannya di bawah teduhnya pohon beringin itu.

Cukup lama Sang Pengelana tertidur, hingga sebutir buah beringin jatuh menimpa dahinya dan membangunkannya. Menyadari apa yang barusan terjadi padanya Sang Pengelana menyesal dan memohon ampun karena telah berani berpikir akan ketidak adilan Sang Khalik. Segenap syukur bahwa ia masih diberi kesempatan berumur lebih panjang dan mendapatkan kebijaksanaan yang begitu dalam dari Sang Pencipta. Seandainya Sang Pencipta benar-benar menciptakan pohon beringin dengan buah yang besar, berair dan berat seperti semangka tentu nyawanya telah melayang di saat dahinya tertimpa buah pohon beringin.

Pengauh PP Lintang Songo Yogyakart, Dosen STAIYO, Ketua Dewan Senat IIQ Yogyakarta